Juli 17, 2025

Perempuan dan Bumi yang Terluka: Mengurai Krisis, Menata Harapan

March 10, 2025
5Min Reads
197 Views

Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2025 bukan hanya sekedar seremoni tahunan, melainkan sebuah momentum untuk merefleksikan perjuangan panjang perempuan dalam mencapai kesetaraan. (Foto/IA)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2025 bukan hanya sekedar seremoni tahunan, melainkan sebuah momentum untuk merefleksikan perjuangan panjang perempuan dalam mencapai kesetaraan. Sejarah mencatat bahwa gerakan ini lahir dari ketidakadilan sistemik yang mengekang hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hak politik hingga ekonomi.


Di Indonesia, meskipun sudah ada kemajuan dalam representasi perempuan, nyatanya kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perempuan mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan juga kekerasan. Perempuan juga menjadi kelompok yang paling terdampak dalam berbagai krisis, terutama dalam hal krisis lingkungan.


Lebih parah lagi, tubuh perempuan masih menjadi medan kontrol dari regulasi yang membatasi hak reproduksi hingga maraknya kekerasan seksual yang kerap dijustifikasi oleh norma sosial. Jika benar kesetaraan telah tercapai, mengapa perempuan masih harus terus berjuang hanya untuk merasa aman?


Lebih jauh lagi, ketidakadilan ini tak hanya merampas hak perempuan, akan tetapi merampas hak mereka atas bumi yang mereka jaga. Perempuan, terutama yang hidup di komunitas adat dan pedesaan merupakan simbol dari garda terdepan dalam menjaga lingkungan. Sering kali mereka dikriminalisasi ketika memperjuangkan tanah mereka yang dirampas untuk kepetingan industri.


Hal ini merupakan sebuah gambaran bahwa alam dirusak, perempuan dikorbankan dan parahnnya menjadi siklus brutal yang terus berulang.


Inilah saatnya, di hari perayaan perempuan internasional takhanya menjadi ajang selebrasi, namun menjadi pengingat bahwa kesetaraan gender dan keadilan ekologis adalah dua hal yang tak terpisahkan dan harus diperjuangkan. Tanpa menghancurkan patriarki yang bersekutu dengan kapitalisme perusak, perempuan dan bumi akan terus menjadi korban yang paling menderita.


Patriarki dan Kapitalisme sebagai Akar Eksploitasi Perempuan dan Alam


Kita tidak bisa menutup mata bahwa sistem patriarki dan kapitalisme telah membentuk struktur sosial dan ekonomi yang mengeksploitasi perempuan dan alam secara bersamaan. Seperti yang diungkapkan oleh Vandana Shiva dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (1989), kapitalisme patriarkal tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga merusak alam dengan cara yang sama yaitu menjadikannya objek eksploitasi demi keuntungan segelintir orang.


Dari ungkapan tersebut menunjukkan bahwa sistem ekonomi global yang berorientasi pada eksploitasi menjadikan perempuan dan alam sebagai objek yang dapat dikuasai dan dieksploitasi. Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2022 mencatat bahwa hampir 60% konflik agraria di Indonesia melibatkan komunitas perempuan yang kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam. 


Hal ini diperkuat oleh argument yang dilayangkan oleh Carolyn Merchant seorang filsuf ekofeminisme dalam bukunya berjudulThe Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (1980), patriarki menciptakan dikotomi maskulin-feminin yang melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan dan sumber daya alam sehingga mengarahkan dunia ke dalam krisis ekologi. 


Contoh nyata dari eksploitasi ini adalah perampasan tanah yang berdampak besar pada perempuan di Indonesia. Misalnya kasus dari komunitas perempuan Kendeng di Jawa Tengah yang berjuang menolak pembangunan pabrik semen yang merusak tanah pertanian dan sumber air mereka. Perempuan Kendeng menghadapi represi dari aparat keamanan, termasuk ancaman, kriminalisasi, dan kekerasan ketika mereka melakukan aksi damai hanya karena mempertahankan hak atas tanah mereka.Termasuk aksi “semen kaki” di depan Istana Negara pada tahun 2016 sebagai bentuk protes terhadap pabrik semen yang merusak tanah mereka.


Namun yang terjadi perusahaan tetap beroperasi meskipun Mahkamah Agung sempat membatalkan izin pabrik. Hal ini menunjukkan bagaimana hukum lebih berpihak pada korporasi. Perjuangan mereka bukan hanya tentang mempertahankan mata pencaharian, tetapi juga menjaga keseimbangan alam sesuai dengan kearifan lokal dan prinsip eco feminisme.


Perempuan: Korban dan Pemimpin dalam Krisis Iklim dan Keadilan Lingkungan


Kapitalisme patriarkal tidak hanya menempatkan perempuan sebagai korban utama krisis lingkungan, namun juga menghalangi akses mereka terhadap sumber daya ekonomi. Silvia Federici dalam Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (2004) mengungkapkan bahwa sejak era feodalisme, perempuan mengalami marginalisasi ekonomi yang terus berlanjut dalam kapitalisme modern, baik melalui bentuk perampasan tanah, pelecehan hak ekonomi, eksploitasi tenaga kerja maupun pengabaian suara mereka dalam kebijakan publik.


Contohnya, perempuan adat di Kalimantan dan Sumatra kehilangan hak atas tanah ulayat mereka akibat ekspansi perkebunan sawit, sementara perempuan buruh pabrik sering dihadapkan pada kondisi kerja yang tidak adil, upah rendah, dan pelecehan di tempat kerja. Kondisi ini menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme patriarkal tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga memperdalam ketimpangan gender dalam akses terhadap sumber daya ekonomi.


Namun, di tengah hiruk-pikuk ketimpangan yang terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan dapat mengambil peran dalam perjuangan lingkungan dan keadilan sosial.


Greta Gaard dalam bukunya berjudul Ecofeminism: Women, Animals, Nature (1993) menekankan bahwa gerakan perlawanan perempuan terhadap kehancuran lingkungan bukan hanya tentang menyelamatkan alam, tetapi juga tentang menegaskan hak mereka atas kehidupan yang adil dan bermartabat.


Contoh nyata di Indonesia, gerakan Jeda Iklim dipimpin oleh banyak aktivis perempuan yang berjuang menekan pemerintah agar menerapkan kebijakan energi berkelanjutan yang lebih adil. Di berbagai daerah seperti Jawa Barat, Kalimantan, dan Sumatra menolak proyek PLTU batu bara, tambang, serta deforestasi yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal, terutama perempuan.


Aktivis seperti Nur Hidayati dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Melky Nahar dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) aktif mengadvokasi transisi energi berbasis keadilan sosial melalui aksi massa, kajian kebijakan, serta kampanye digital. Dengan menggandeng komunitas terdampak, mereka tidak hanya menyoroti bagaimana perempuan sering kali menjadi kelompok paling rentan dalam krisis lingkungan, tetapi juga menjadi pemimpin dalam perjuangan menjaga keberlanjutan ekologi.


Secara global, data menunjukkan bahwa kesetaraan gender berkaitan erat dengan kebijakan lingkungan yang lebih baik. World Economic Forum (2021) mengungkap bahwa negara dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih progresif. 


Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan adalah korban utama dari krisis iklim dan eksploitasi ekonomi, mereka juga menjadi aktor penting dalam perjuangan keadilan lingkungan. Melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan ekologis bukan hanya bentuk keadilan gender, tetapi juga langkah strategis untuk menyelamatkan bumi bagi generasi mendatang.


Penulis:

Nafiatul Ummah

Presidium Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI)

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis