Orang tua yang berada di garis kemiskinan lebih cenderung memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal daripada pendidikan anak mereka.
KOMUNALIS.COM, OPINI - Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis. Namun, kenyataannya, akses terhadap pendidikan masih sangat timpang di Indonesia. Kelompok masyarakat di lapisan terbawah, seperti mereka yang tinggal di daerah terpencil atau miskin kota, sering kali terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. Hal ini menimbulkan kesenjangan yang kian melebar antara mereka yang mampu mengakses pendidikan berkualitas dan yang tidak.
Kesenjangan tersebut bukan hanya masalah individu, melainkan juga persoalan struktural yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Menurut Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan sarana untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan sosial. Dalam bukunya “Pedagogy of the Oppressed”, Freire menekankan pentingnya pendidikan yang partisipatif dan berorientasi pada kesadaran kritis masyarakat, terutama mereka yang terpinggirkan.
Di Indonesia, tantangan serupa dihadapi oleh anak-anak dari keluarga miskin dan kelompok minoritas. Misalnya, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi sekolah di daerah terpencil masih jauh lebih rendah dibandingkan wilayah perkotaan. Sering kali, faktor ekonomi menjadi penghambat utama. Orang tua yang berada di garis kemiskinan lebih cenderung memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal daripada pendidikan anak mereka.
Masalah lain yang dihadapi adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah terpencil. Sekolah yang tidak memiliki fasilitas memadai, kurangnya tenaga pengajar, serta kondisi geografis yang sulit dijangkau memperparah situasi. Dalam hal ini, pendapat Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, masih sangat relevan. Ia menyatakan bahwa pendidikan harus bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, tanpa kecuali, karena pendidikan adalah alat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini bervariasi. Salah satu pendekatan yang mulai diterapkan adalah pendidikan berbasis komunitas, di mana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Model ini telah terbukti efektif di beberapa daerah, seperti program Sekolah Alternatif yang dikelola oleh berbagai lembaga sosial. Program ini memungkinkan anak-anak di daerah terpencil tetap mendapatkan akses pendidikan melalui metode non-formal yang lebih fleksibel.
Selain itu, peran teknologi juga menjadi aspek penting dalam memperluas akses pendidikan. Program pembelajaran daring yang dipadukan dengan sistem luring telah memberikan harapan baru, terutama di masa pandemi. Namun, tantangan infrastruktur seperti akses internet yang masih terbatas di daerah tertentu tetap menjadi kendala besar. Pemerintah perlu memperkuat infrastruktur digital agar teknologi pendidikan bisa benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sektor swasta juga memiliki peran signifikan dalam mendorong pemerataan pendidikan. Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), banyak perusahaan yang telah menyelenggarakan berbagai program beasiswa dan pelatihan untuk masyarakat kurang mampu. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta adalah kunci utama dalam menciptakan sistem pendidikan inklusif.
Meskipun begitu, kebijakan pemerintah tetap menjadi fondasi dalam membangun sistem pendidikan yang merata. Reformasi kebijakan, mulai dari alokasi anggaran pendidikan yang lebih proporsional hingga pengembangan kurikulum yang inklusif, harus terus didorong. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Maka, komitmen politik yang kuat diperlukan untuk mewujudkan amanat tersebut.
Pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak pemerintah, masyarakat, swasta, dan individu akan memberikan hasil yang lebih nyata. Masyarakat perlu diberdayakan untuk menjadi agen perubahan dalam pendidikan, sehingga tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pelaku utama dalam proses ini.
Dengan pendidikan yang inklusif dan merata, Indonesia tidak hanya akan mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Generasi ini nantinya akan menjadi motor penggerak perubahan sosial, membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi semua lapisan masyarakat.
Penulis :
Muhammad Zidan
(Mahasiswa UIN Jakarta)
Recommended Post
Leave a Comment