Juli 17, 2025

Menggugat Tambang Masuk Kampus

January 31, 2025
4Min Reads
187 Views

Dalam merumuskan UU pemerintah seringkali mengutamakan kepentingan pejabat dan korporat daripada kepentingan rakyat. (Foto/ Istimewa)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Publik geger mendengar kabar Dewan Perwakilan Rakyat hendak memberikan izin usaha tambang kepada kampus. Wacana tersebut mengemuka lewat usulan merevisi Undang-undang (UU) Nomor 4/2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 


Dalam pasal 51A disebutkan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), mineral logam atau batubara dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas alias tanpa lelang. Pemerintah mengklaim hal tersebut bertujuan untuk mendorong kemandirian kampus dan meringankan biaya kuliah. 


Usulan tersebut patut dicurigai karena setiap undang-undang yang digodok secara terburu-buru, minim partisipasi publik, dan tidak transparan cenderung merugikan masyarakat luas. Teranyar adalah upaya melakukan revisi UU Pilkada yang bertujuan untuk memuluskan kepentingan beberapa orang. UU Cipta Kerja (2020) misalnya, memudahkan perusahaan memutus hubungan kerja dan memangkas uang pesangon karyawan. UU IKN (2022) memicu konflik agraria dengan masyarakat adat. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) membungkam kebebasan sipil dengan melarang ajaran Marxisme-Leninisme serta larangan menghina presiden.


Fakta di atas menunjukan bahwa dalam merumuskan UU pemerintah seringkali mengutamakan kepentingan pejabat dan korporat daripada kepentingan rakyat. Dalam usulan revisi UU Minerba terlihat jelas ada upaya untuk menjinakkan kampus lewat konsesi tambang. Tindakan itu dimaksudkan untuk membungkam potensi kritik yang datang dari sivitas akademika. 


Pemerintahan yang anti kritik adalah ciri khas negara otoriter yang dipimpin oleh seorang diktator. Niccolo Machiavelli dalam “The Prince” (2018) menegaskan untuk mempertahankan kekuasaannya seorang diktator melakukan berbagai cara. Memberikan izin mengelola tambang adalah satu dari banyaknya cara yang dapat digunakan.


Selain itu, pemerintah yang takut pada kritik sebetulnya menunjukan bahwa mereka tidak kompeten dan tidak layak menjadi pemimpin. Jika seorang pemimpin memiliki kompetensi, maka ia pasti mampu menjalankan mandat sebaik-baiknya. Oleh karena itu, mereka akan membuat kebijakan yang akan berpihak pada rakyat bukan sebaliknya. 


Kekhawatiran pada kritik seolah mengonfirmasi bahwa kedepan akan banyak kebijakan yang bergesekan dengan kepentingan rakyat, sehingga untuk meredam potensi kritik yang muncul diperlukan memangkas sebanyak mungkin rintangan yang ada. 


Lebih lanjut, alasan mendorong kemandirian kampus dan meringankan biaya kuliah lewat tambang adalah solusi yang tidak tepat sasaran. Kampus merupakan institusi pendidikan bukan korporasi yang berorientasi profit. Kampus bertujuan mencetak manusia bukan mencetak laba. Melibatkan kampus pada kerja-kerja industrial mengafirmasi yang disampaikan David Harvey, bahwa neoliberalisme telah menjadikan kampus-kampus sebagai bagian integral dari mesin kapitalisme (Harvey, 2005). 


Sosiolog pendidikan, Henry Giroux dalam “Neoliberalism War on Higher Education” (2011), menunjukan bahwa kebijakan neoliberalisme telah mengubah visi dan misi perguruan tinggi secara keseluruhan di banyak negara. Institusi pendidikan dijadikan ‘pasar’ orientasi pendidik return of investment (ROI) dari ‘investasi’ mahasiswa. Singkatnya, kampus dirancang untuk menjadi mesin besar yang memenuhi ekspektasi ekonomi masyarakat. Penyempitan orientasi pendidikan hanya pada output ekonomi akan mematikan aktivisme dan kesadaran mahasiswa secara perlahan.


Tidak hanya itu, sistem pendidikan termasuk kurikulum dan berbagai aturannya saat ini telah disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme. Ciri khas ‘logika kapitalisme’ adalah menanamkan “budaya diam”, yakni pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hirarki layaknya sebuah mesin korporat (Paulo Freire, 1973). 


Seharusnya pemerintah menyadari bahwa usulan memberikan izin tambang pada kampus tidak menyelesaikan akar persoalan. Penyebab biaya kuliah mahal sangat kompleks salah satunya karena kampus dipaksa untuk memiliki otonomi sendiri. Kebijakan ini lahir karena pemangkasan subsidi. Hilangnya subsidi pendidikan lantaran kebijakan neoliberalisme yang mensyaratkan negara berkembang yang berhutang mesti membuat kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi (Mushoffa, 2017)


Alih-alih memberikan konsesi tambang pada kampus, pemerintah mestinya mengurangi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang alokasi anggaran APBN 2025 paling banyak Rp 166,26 triliun. Dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berada di peringkat kedua Rp 126,62 triliun. Sementara, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek): hanya Rp 57,68 triliun. 


Lagipula, apa urgensinya memberikan alokasi APBN terbanyak pada TNI dan Polri. Dalam beberapa kasus justru dua lembaga tersebut menjadi penyumbang kekerasan terhadap warga sipil. Karena diperintahkan mengamankan berbagai proyek strategis nasional. 


Sebagian pakar melihat penggemukan alokasi APBN bertujuan untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Imparsial mencatat ada 2.567 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada 2023. Sebanyak 29 perwira menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan UU. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan melaporkan sepuluh perwira tinggi dan menengah merangkap jabatan sipil pada 2018. Setara Institute juga mencatat sejumlah prajurit aktif menduduki posisi di Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan menjadi komisaris pada 2020.


Fenomena ini menunjukan bahwa negara bukan hanya diatur dengan corak produksi kapitalis, tapi juga dikawal oleh aparat fasis. Jika kampus menerima tawaran mengelola tambang, maka secara otomatis kampus akan terjerembab menjadi aparatus ideologi negara. 


Pada akhirnya, penetrasi kapitalisme pada institusi pendidikan dan masuknya TNI ke ranah sipil akan merenggut kemerdekaan intelektual, merusak kompas moral dan akan berimplikasi pada kemunduran demokrasi.


Penulis:

Aji Pangestu

( Aktivis Forum Mahasiswa Ciputat)



Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis