Juli 17, 2025

Kampus Dapat Konsesi Tambang: Neo NKK/BKK?

February 01, 2025
3Min Reads
235 Views

Bagaimana mungkin kampus dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut dengan optimal jika terjerat dalam bisnis tambang yang memiliki kepentingan ekonomi jangka panjang? (Foto/ Istimewa)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Baru-baru ini, mencuat sebuah wacana dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi akan mendapatkan konsesi tambang dari pemerintah.


Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan serius, terutama terkait dampaknya terhadap peran civitas akademika dalam menjaga salah satu fungsinya, sebagai agent of change atau agen perubahan. Tak ayal, jika RUU tersebut disahkan, justru bisa berpotensi merusak dan menciderai nalar kritis hingga independensi civitas akademika yang seharusnya menjadi kontrol sosial dalam sebuah negara demokratis.


Pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi, meskipun dibungkus dengan klaim positif seperti pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sumber daya manusia di bidang pertambangan, akan menimbulkan persoalan besar. Salah satu dampaknya adalah tergerusnya kemampuan kampus untuk berpikir kritis. Terlebih, fungsi utama perguruan tinggi, sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.


Bagaimana mungkin kampus dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut dengan optimal jika terjerat dalam bisnis tambang yang memiliki kepentingan ekonomi jangka panjang? Lebih jauh daripada itu, perguruan tinggi yang terlibat langsung dalam eksploitasi sumber daya alam akan menghadapi konflik kepentingan yang serius dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyuarakan perubahan yang lebih adil.


Sejarah Mungkin Berulang ke Era Orde Baru?


Kebijakan pemerintah yang memperbolehkan kampus mengelola tambang mengingatkan kita pada masa Orde Baru Soeharto, khususnya pada kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang diterapkan oleh Menteri Pendidikan, Daoed Joesoef, pada tahun 1978.

Kala itu, Daoed Joesoef mengeluarkan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Mahasiswa dilarang berpolitik dan melalukan kontrol sosial.


Dalam kebijakan tersebut, mahasiswa dibatasi ruang geraknya untuk berpolitik dan melakukan kontrol sosial. Pemerintah saat itu khawatir akan potensi pergerakan mahasiswa yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik yang sedang dibangun oleh rezim Soeharto. Pada saat itu, ada gerakan mahasiswa besar pada 1974, yang dikenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari), yang merupakan bentuk protes terhadap dominasi modal asing yang merugikan perekonomian nasional.


Tindakan pemerintah melalui kebijakan NKK/BKK tersebut adalah cara untuk membungkam kritik dari civitas akademika dan membatasi peran kampus sebagai agen perubahan yang seharusnya. Singkatnya, rezim Orba sangat ketakutan dengan potensi kekuatan mahasiswa sebagai motor perubahan. Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan semacam ini bertujuan untuk meninabobokan mahasiswa agar mereka tidak lagi menjadi kekuatan kontrol sosial yang dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan. Kebijakan ini jelas memperlihatkan bagaimana rezim otoriter berusaha mengendalikan kampus, yang seharusnya menjadi tempat lahirnya ide-ide kritis dan progresif.


Atas dasar itu, kebijakan yang mengizinkan kampus untuk mengelola tambang pada dasarnya memiliki kemiripan dengan kebijakan NKK/BKK di era Orde Baru. Tidakkah berlebihan jika disebut Neo NKK/BKK?

Sebab, pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi jelas-jelas dapat berpotensi merusak nalar kritis mahasiswa dan mengaburkan peran kampus sebagai agen perubahan.


Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarah pada ketergantungan kampus pada kepentingan ekonomi tertentu, yang pada gilirannya akan melemahkan peran penting perguruan tinggi dalam mengawasi kebijakan publik dan memberikan kritik terhadap pemerintah. Sebagaimana kebijakan NKK/BKK pada masa lalu yang berusaha meninabobokan mahasiswa, kebijakan ini bisa membatasi ruang gerak civitas akademika untuk berpikir bebas dan kritis.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertimbangkan dampaknya yang jauh ke depan dari kebijakan semacam ini agar tidak mengorbankan fungsi perguruan tinggi sebagai penjaga nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.


Pertanyaan selanjutnya, jika pada akhirnya RUU tersebut disahkan DPR, apakah adagium lawas “Rezim boleh berganti, tapi tabiat penguasa selalu saja sama” masih relevan?


PENULIS:

Faisal A

(Masyarakat Sipil Ciputat)

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis