Pengangkatan Irjen Pol Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan hukum serta etika tata kelola lembaga negara. (Foto/Detik)
KOMUNALIS.COM, POLITIK - Pengangkatan Irjen Pol Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan hukum serta etika tata kelola lembaga negara. Keputusan Presiden Nomor 79/TPA Tahun 2025 menjadi dasar pengangkatannya, yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU tersebut memungkinkan anggota Polri untuk mengisi jabatan ASN di instansi pusat.
Namun, legalitas ini dinilai tidak cukup menjawab pertanyaan tentang legitimasi. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) secara tegas menyebut bahwa jabatan Sekjen DPD hanya dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Iqbal yang masih aktif sebagai perwira tinggi Polri tidak memenuhi kriteria ini.
“Jabatan Sekjen DPD itu secara normatif diperuntukkan bagi PNS. Seorang anggota Polri, apalagi yang masih aktif, tidak bisa masuk ke dalam kategori itu,” ujar Direktur Eksekutif Formappi, Lucius Karus, dikutip dari Metro TV News
Kritik lain juga muncul terkait kepatuhan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menyebut bahwa anggota Polri hanya dapat menjabat di luar institusinya setelah mengundurkan diri atau pensiun. “Jika Irjen Iqbal masih aktif, maka secara hukum pengangkatannya itu cacat,” kata Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, kepada Kompas.com
Dari sisi politik, posisi Sekjen DPD RI dinilai memiliki peran strategis karena bertanggung jawab atas tata kelola kelembagaan dan pengelolaan anggaran. Penempatan perwira aktif di posisi ini memunculkan kekhawatiran soal intervensi eksekutif terhadap lembaga legislatif. “Ini bisa membuka ruang bagi kendali politik terhadap birokrasi legislatif, dan itu berbahaya bagi sistem demokrasi,” tegas Lucius Karus, kembali menekankan melalui Metro TV News.
Meski demikian, pimpinan DPD RI membela pengangkatan Iqbal. Mereka menilai mantan Kapolda NTB dan Riau itu memiliki kapasitas dan pengalaman yang dibutuhkan untuk mendorong reformasi birokrasi. “Beliau memiliki latar belakang kepemimpinan dan pengalaman institusional yang kuat, yang kami yakini akan membawa perubahan positif,” ujar Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, seperti dikutip Detik.com
Namun, efektivitas reformasi birokrasi tak bisa bergantung pada individu semata. Tanpa fondasi hukum yang kuat dan sistem yang akuntabel, perubahan yang dijanjikan bisa menjadi kontra-produktif. Pengangkatan ini pun menjadi pengingat pentingnya sinkronisasi antara UU ASN, UU MD3, dan UU Polri.
“Ini bukan sekadar soal siapa yang menduduki jabatan itu, tapi apakah prosesnya sesuai dengan hukum dan konstitusi. Kalau tidak, ini bisa menjadi pintu masuk bagi pelemahan institusi,” tutup Ray Rangkuti kepada Kompas.com.
Dalam konteks demokrasi yang tengah diuji, polemik ini menjadi cermin dilema antara semangat reformasi birokrasi dan realitas kekuasaan yang belum sepenuhnya tunduk pada supremasi hukum. (Gufron/Red)
Recommended Post
Leave a Comment