Pengutusan Joko Widodo oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai wakil resmi Indonesia dalam pemakaman Paus Fransiskus mengundang kritik keras yang tak bisa lagi diabaikan. (Foto/Rmol.id)
KOMUNALIS.COM, OPINI - Pengutusan Joko Widodo oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai wakil resmi Indonesia dalam pemakaman Paus Fransiskus mengundang kritik keras yang tak bisa lagi diabaikan. Langkah ini bukan hanya janggal secara protokoler, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius mengenai kepemimpinan simbolik, struktur otoritas negara, dan arah diplomasi Indonesia di bawah pemerintahan baru.
Secara normatif, dalam konteks politik kenegaraan, representasi diplomatik di acara sebesar pemakaman Paus—seorang tokoh moral global—semestinya diwakili langsung oleh presiden, wakil presiden, atau pejabat aktif yang relevan, seperti Menteri Agama atau Menteri Luar Negeri.
Namun, alih-alih menunjuk figur resmi, Prabowo justru memilih mantan presiden yang secara konstitusional telah menyelesaikan masa jabatannya. Maka pertanyaannya: di mana Wakil Presiden Gibran? Di mana Menteri Agama? Mengapa suara mereka tak terdengar, langkah mereka tak tampak?
Dari kacamata teori politik realis, seperti yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau, politik internasional adalah soal power and interest, bukan simbolisme kosong. Maka, ketika Prabowo justru menyerahkan panggung internasional kepada figur nonaktif, ini menunjukkan lemahnya will to power dalam strategi diplomasi luar negeri.
Prabowo, dalam hal ini, tampak menghindar dari tampil sebagai aktor utama. Sebuah ironi bagi pemimpin yang di atas panggung kampanye menjual narasi kemandirian dan ketegasan.
Lebih lanjut, keputusan ini bisa dibaca sebagai bentuk delegitimasi diri sendiri. Dalam studi tentang simbol kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Clifford Geertz, kepala negara tidak hanya menjalankan pemerintahan, tapi ia juga memainkan peran simbolik dalam membentuk citra negara di mata dunia.
Dengan mengalihkan peran itu kepada Jokowi, Prabowo secara tidak langsung memperpanjang bayang-bayang kepemimpinan lama dan gagal membangun simbolisme barunya sendiri. Publik pun patut bertanya, apakah ini bagian dari transisi kekuasaan yang belum tuntas, ataukah Prabowo memang belum siap sepenuhnya mengambil alih?
Dari sisi politik dalam negeri, ini juga rawan dibaca sebagai manuver kompromistis demi menjaga harmoni politik pasca Pilpres. Namun kompromi semacam ini, jika dilakukan di atas panggung diplomasi internasional, dapat menciptakan ambiguitas peran, mencoreng kredibilitas negara, dan mengaburkan posisi Indonesia di hadapan dunia.
Singkatnya, ini bukan sekadar soal siapa yang hadir di pemakaman Paus. Ini soal siapa yang sedang (atau belum) memimpin Indonesia.
Penulis:
Noer Syabilah Ramadyni
Recommended Post
Leave a Comment