Kabupaten Raja Ampat diakui secara global sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia (Coral Triangle) dengan ekosistem terumbu karang yang luar biasa dan menjadi destinasi pariwisata bahari kelas dunia. Ketergantungan ekonomi masyarakat lokal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan bersumber dari sektor pariwisata dan perikanan berkelanjutan.
A. Posisi Kasus / Fakta Hukum
Kabupaten Raja Ampat diakui secara global sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia (Coral Triangle) dengan ekosistem terumbu karang yang luar biasa dan menjadi destinasi pariwisata bahari kelas dunia. Ketergantungan ekonomi masyarakat lokal dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan bersumber dari sektor pariwisata dan perikanan berkelanjutan.
Adanya aktifitas penambangan secara inheren memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan, antara lain deforestasi, erosi tanah, sedimentasi ke laut, dan pencemaran logam berat. Setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib mematuhi kerangka regulasi lingkungan hidup yang diatur dalam UUPPLH.
Setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib mematuhi kerangka regulasi lingkungan hidup yang diatur dalam UUPPLH. Pemerintah Daerah dalam menyusun Perda, khususnya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), wajib melakukan harmonisasi dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
• Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
• Pasal 33 ayat (3) dan (4): Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH):
• Pasal 3 (Prinsip): Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berasaskan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), pembangunan berkelanjutan, dan partisipatif.
• Pasal 15 jo. Pasal 17: Pemerintah wajib menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana, dan/atau program (termasuk RTRW) telah mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
• Pasal 9 & 10: Perencanaan tata ruang wajib didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
• Pasal 22 & 36: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha.
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Mengatur kewenangan pemerintah daerah serta mekanisme pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap produk hukum daerah.
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara: Mengatur perizinan sektor pertambangan yang kini menjadi kewenangan pusat, namun tetap mewajibkan kesesuaian dengan rencana tata ruang daerah.
5. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Peraturan pelaksana dari UUPPLH dan UU Cipta Kerja yang merinci mengenai KLHS, Amdal, dan Izin Lingkungan.
C. Dugaan Hukum Yang Dilanggar
• Dugaan Hukum yang Dilanggar: UU No. 27 Tahun 2007sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
• Pasal 35 (sebelum UU Cipta Kerja) dan semangat perlindungan dalam UU PWP3K secara eksplisit melarang kegiatan penambangan mineral pada pulau-pulau kecil.
• Dugaan pelanggaran: Pulau Gag, lokasi operasi PT Gag Nikel, memiliki luas sekitar 6.000-6.500 hektar (60-65 km²). Menurut definisi UU PWP3K, pulau dengan luas di bawah 2.000 km² dikategorikan sebagai “pulau kecil”.
Dengan demikian, penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk eksploitasi nikel di pulau ini secara inheren bertentangan dengan mandat undang-undang tersebut yang bertujuan melindungi ekosistem pulau kecil dari kegiatan ekstraktif berdaya rusak tinggi. Hal yang sama berlaku untuk pulau-pulau lain tempat empat perusahaan yang izinnya telah dicabut beroperasi.
2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
Dampak kerusakan lingkungan menjadi bukti nyata pelanggaran terhadap UU ini.
• Dugaan hukum yang Dilanggar: UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• Dugaan pelanggaran:
o Perusakan Lingkungan: Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta investigasi organisasi seperti Greenpeace menunjukkan adanya kerusakan lingkungan yang serius, termasuk deforestasi masif dan pembukaan lahan.
o Pencemaran Laut: Aktivitas tambang menyebabkan sedimentasi yang masif, mengeruhkan perairan di sekitar pulau dan mengancam ekosistem terumbu karang yang menjadi ikon Raja Ampat. Ini melanggar baku mutu lingkungan dan merupakan tindak pidana lingkungan.
o Amdal yang Dipertanyakan: Meskipun perusahaan mengklaim memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), implementasi di lapangan dan dampak nyata yang ditimbulkan memicu keraguan besar atas keabsahan, kualitas, dan kepatuhan terhadap dokumen AMDAL tersebut.
3. Undang-Undang Kehutanan
Sebagian besar wilayah konsesi tambang berada di kawasan hutan dengan status lindung.
• Dugaan hukum yang Dilanggar: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
• Pasal 38 melarang kegiatan penambangan dengan sistem terbuka (open pit mining) di dalam kawasan hutan lindung.
• Dugaan pelanggaran: Operasi PT Gag Nikel berlangsung di Pulau Gag yang sebagian besar kawasannya berstatus hutan lindung. Meskipun perusahaan mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), penerbitan izin untuk penambangan terbuka di kawasan hutan lindung pada sebuah pulau kecil merupakan sebuah anomali hukum yang bertentangan dengan prinsip konservasi yang diamanatkan UU Kehutanan.
4. Undang-Undang Penataan Ruang
Aktivitas tambang tidak sejalan dengan peruntukan kawasan sebagai area konservasi dan pariwisata dunia.
• Hukum yang Dilanggar: UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
• Pelanggaran: Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan pariwisata strategis nasional dan merupakan bagian dari Geopark Dunia UNESCO. Alokasi ruang untuk pertambangan skala besar, terutama di pulau-pulau kecil yang sensitif, bertabrakan langsung dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Papua Barat Daya dan Kabupaten Raja Ampat yang seharusnya memprioritaskan konservasi dan pariwisata berkelanjutan. Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, mengonfirmasi bahwa salah satu alasan pencabutan izin empat perusahaan adalah karena lokasi mereka berada di dalam kawasan geopark.
Pada tanggal 10 Juni 2025 pemerintah melaluiKementerian Investasi Rosan Perkasa Rosani serta kementerian ESDM Bahlil Lahadia melalui konferensi pers di istana Jakarta telah mencabut IUP empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, yaitu:
1. PT Mulia Raymond Perkasa.
2. PT Kawei Sejahtera Mining.
3. PT Nurham.
4. PT Anugerah Surya Pratama.
Namun, IUP milik PT Gag Nikel tidak dicabut dan berpotensi adanya disharmonisasi antara PERDA setempat dengan UU yang berlaku,dengan alasan statusnya sebagai BUMN dan klaim bahwa operasionalnya masih sesuai AMDAL, meskipun akan diawasi secara ketat.
Kementerian LHK, Bareskrim Polri, dan Kejaksaan Agung sedang membuka penyelidikan atas dugaan tindak pidana lingkungan dan potensi korupsi di balik penerbitan izin-izin tersebut. Pelanggaran yang terjadi berpotensi menyeret para pelaku usaha dan oknum pejabat pemberi izin ke ranah hukum, baik sanksi administratif (pencabutan izin dan denda) maupun pidana.
D. Analisis Hukum
Mengapa bisa PT.Gag Nikel tetap beroparasi padahal melakukan pertambangan di “Hutan Lindung “ dan “pulau kecil” yang jelas sudah melanggar undang-undang.Alasan utamanya tentu bukan karna milik BUMN atau karena jarak 30-40 km dari destinasi tempat wisata raja ampat.Alasannya ada pada legal certainty dan prinsip dasar hukum kontrak.
Larangan untuk kegiatan pertambangan open “pit hutan lindung di atur dalam UU kehutanan No 41/1999.Tapi muncul dispute terkait 13 perusahaan tambang open pit di HL yang sudah punya kontrak karya (kk) sebelum UU No.41/1999 di berlakukan.Solusinya? negara menerbitkan UU No.19/2004 dan KEPPRES No.41 tahun 2004 yang memberikan pengecualian bagi ke 13 perusahaan tersebut termasuk PT.Gag Nikel.
Dasarnya adalah pasal 1338 KUH perdata “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya”.Analoginya kalau suatu perusahaan sudah sepakat dengan vendor catering Rp.20.000/box.Lalu besoknya pemerintah tetapkan regulasi semua harga minimal catering Rp.50.000/box.Maka kontrakawal tetap sah dan dijamin negara,Sama seperti kasus KK pada tambang ini.
UU.No.27/2007 memang melarang penambangan mineral di pulau kecil.Tapi,jika kontrak di tanda tangani sebelum undang-undang berlaku,maka kontrak tersebut tetap memiliki kekuatan.Disinilah berlaku asas lex specialis derogat legi generali Peraturan Khusus KK(kontrak kerja)dalam hal ini mengesampingkan aturan umum (UU)
Pasal 35 huruf K UU tersebut juga menjelaskan bahwa penambangan di pulau kecil di perbolehkan apabila:
• Tidak merusak lingkungan
• Tidak mencemari lingkungan
• Tidak merugikan masyarakat
D.Kesimpulan
Izin PT.Gag Nikel tidak di cabut bukan karenakekuasaan, tapi karena asas legalitas,kepastian hukum, dan penghormatan terhadap kontrak yang sah, bukan soal istimewa, bukan soal kedekatan, tapi soal rule of law.
PENULIS:
Ainul Najib (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang)
Recommended Post
Leave a Comment