Kalimantan Barat terus mengalami kerusakan lingkungan yang semakin masif, ditandai oleh pencemaran sungai, deforestasi besar-besaran, dan degradasi ekosistem. Di balik semua ini, berdiri Pemerintah Provinsi Kalbar yang tampak lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang menjaga kelangsungan ruang hidup rakyatnya. (Foto/Kulkulbali)
KOMUNALIS.COM, OPINI - Kalimantan Barat terus mengalami kerusakan lingkungan yang semakin masif, ditandai oleh pencemaran sungai, deforestasi besar-besaran, dan degradasi ekosistem. Di balik semua ini, berdiri Pemerintah Provinsi Kalbar yang tampak lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang menjaga kelangsungan ruang hidup rakyatnya. Komitmen terhadap lingkungan sejauh ini hanya hadir dalam bentuk jargon administratif tanpa dibarengi kebijakan konkret dan tindakan nyata.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Kalbar tumbuh sebesar 4,90 persen pada tahun 2024, dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp300,16 triliun dan PDRB per kapita sebesar Rp52,70 juta. Pertumbuhan ini didorong oleh sektor-sektor yang justru menyumbang kerusakan ekologis secara langsung: perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Meski angka-angka ini terlihat menggembirakan di atas kertas, realitas di lapangan menunjukkan ekspansi ekonomi yang meninggalkan jejak kerusakan mendalam.
Minimnya perhatian pemerintah terhadap dampak lingkungan tercermin dari berbagai kasus pencemaran yang terus berulang. Pada Januari 2025, misalnya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) BPG 10 di Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, dilaporkan membuang limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) langsung ke Sungai Kapuas yang merupakan sumber air utama bagi ribuan warga. Dampaknya, masyarakat mengalami gangguan kesehatan dan kehilangan akses terhadap air bersih. Namun hingga kini, belum ada tindakan hukum atau administratif yang tegas dari pemerintah terhadap perusahaan tersebut. Pengawasan lemah, penindakan nyaris nihil.
Kasus serupa terjadi di Kabupaten Kayong Utara, di mana sungai di Desa Pangkalan Buton tercemar akibat aktivitas tambang pasir ilegal. Air menjadi keruh, ekosistem rusak, dan masyarakat kembali menjadi korban. Meski protes warga telah disuarakan, penambangan tetap berlangsung tanpa hambatan. Pemerintah daerah kembali absen dari fungsinya sebagai pelindung lingkungan dan penjamin hak hidup warga.
Kedua kasus ini memperjelas kegagalan Pemprov Kalbar dalam melindungi sumber daya alam secara menyeluruh. Pemerintah tampak lebih akomodatif terhadap kepentingan investor daripada terhadap kebutuhan dasar warganya. Alih-alih memperketat regulasi dan penegakan hukum, kebijakan yang muncul justru membuka ruang lebih luas bagi eksploitasi tanpa pengawasan berarti.
Padahal, struktur ekonomi Kalbar yang masih ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan kontribusi sebesar 22,83% terhadap PDRB, seharusnya menjadi landasan kuat bagi pemerintah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam. Namun realitas berkata lain: deforestasi terus terjadi, wilayah tangkapan air rusak, dan kawasan lindung tak lagi aman dari ekspansi industri.
Model pembangunan yang mengedepankan angka pertumbuhan sambil mengabaikan daya dukung lingkungan telah menjadikan Kalbar contoh buruk pembangunan yang tidak berkelanjutan. Masyarakat adat kehilangan hak atas tanah ulayat, petani kesulitan mengakses air bersih, dan kerusakan ekosistem menyebabkan hilangnya sumber penghidupan tradisional.
Untuk membalik keadaan, langkah tegas dari pemerintah sangat dibutuhkan. Moratorium izin tambang dan sawit di kawasan kritis harus diberlakukan segera. Audit independen terhadap industri yang beroperasi di sepanjang daerah aliran sungai perlu dilakukan. Penegakan hukum harus menjadi alat koreksi nyata, bukan sekadar ancaman kosong. Tanpa keberanian politik untuk menghadapi pelaku perusakan lingkungan, kerusakan akan terus meluas tanpa kendali.
Kalimantan Barat tidak boleh terus dijadikan ladang eksploitasi. Ruang hidup masyarakat bukan komoditas. Pemprov Kalbar memiliki tanggung jawab konstitusional untuk mengatur, mengawasi, dan melindungi lingkungan hidup. Tanpa langkah nyata dan konsisten, krisis ekologis hanya akan memperdalam ketimpangan sosial yang sudah ada.
Pertumbuhan ekonomi yang sehat adalah pertumbuhan yang berpijak pada keberlanjutan, bukan yang berdiri di atas kerusakan. Kalbar tidak membutuhkan pembangunan yang mengorbankan masa depan, melainkan pembangunan yang menjamin bahwa generasi berikutnya masih bisa hidup layak di tanah yang sama.
Penulis:
Samadi S.Ag
(Kabid Riset dan Analisis Gerakan Humanisme)
Recommended Post
Leave a Comment