Sejak 2017 hingga 2023, warga di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, kehilangan lahan pertanian mereka akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit milik PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), anak usaha Jhonlin Group.
KOMUNALIS.COM, BERITA - Sejak 2017 hingga 2023, warga di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, kehilangan lahan pertanian mereka akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit milik PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), anak usaha Jhonlin Group. Padahal, sebagian besar dari mereka sudah memiliki sertifikat tanah resmi hasil program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Sertifikat yang semestinya melindungi hak warga itu justru tak diakui oleh perusahaan. “Kami sudah pegang sertifikat sejak 2018, tapi begitu alat berat masuk, semua tak dianggap,” kata Unang, salah satu warga Desa Teluk Gosong. Menurutnya, ketika warga menunjukkan sertifikat itu, perusahaan hanya menjawab singkat: “Silakan gugat ke pengadilan,” dikutip dari Suara.com
PT MSAM mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan seluas 14.333 hektare. Namun, kawasan tersebut juga tumpang tindih dengan lahan konsesi hutan produksi PT Inhutani II (kini PT Inhutani I) seluas 24.695 hektare. Sampai saat ini, belum ada dokumen resmi pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Kalau tidak ada pelepasan kawasan, seharusnya tidak boleh ada aktivitas perkebunan sawit,” ujar Zenzi Suhadi dari WALHI. Ia menegaskan bahwa aktivitas MSAM berpotensi melanggar UU Kehutanan dan merugikan negara secara ekologis maupun finansial.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Sawit Watch dan Integrity Law Firm sudah melaporkan persoalan ini ke KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim, dan KLHK sejak 2022. Namun proses hukum dinilai lamban dan tidak transparan. Sementara itu, intimidasi terhadap warga terus berlangsung. Imron, warga lainnya, mengaku lahannya digusur pada malam hari. “Saya bangun pagi-pagi, pohon sawit saya sudah rata dengan tanah. Tidak ada pemberitahuan, tidak ada surat, tiba-tiba habis,” ujarnya. Ia juga menyebut kehadiran aparat keamanan bersenjata saat penggusuran, yang membuat warga ketakutan.
Kompensasi yang diterima warga pun tidak adil. Ansor hanya mendapatkan Rp 40 juta dari tuntutannya sebesar Rp 220 juta. Ia mengatakan, “Itu uang hanya cukup untuk bayar utang. Lahannya sudah tak bisa kembali.” Lebih parah lagi, kompensasi sering kali diberikan lewat jalur kepolisian. Warga mengatakan bahwa mereka diarahkan datang ke Polres untuk diselesaikan baik-baik tanpa proses yang transparan.
Aktivitas pertanian warga yang telah berlangsung sejak 2004 kini terhenti total. Sebagian besar kehilangan sumber penghidupan dan hanya bisa menggantungkan hidup dari bantuan beras pemerintah. “Sekarang saya hanya bisa bantu angkut ikan di pelabuhan. Hasilnya tak tentu. Dulu kalau panen, bisa sampai puluhan juta,” ucap Ratman, seorang petani karet yang kini kehilangan seluruh lahannya.
Kriminalisasi juga menimpa warga yang melawan. Ratman, yang aktif mengorganisir warga, pernah ditahan karena dituduh menghasut kerusuhan, padahal ia hanya berorasi damai. “Saya cuma bicara soal keadilan, bukan ngajak ribut,” katanya. Yusuf, seorang jurnalis lokal yang menulis soal konflik agraria ini, juga sempat ditahan dan meninggal dalam tahanan pada 2018. Komnas HAM menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus ini dan meminta investigasi menyeluruh.
Dalam investigasi yang dilakukan lembaga masyarakat sipil, ditemukan adanya aliran dana dari MSAM senilai Rp 33,1 miliar kepada sejumlah aparat dan tokoh lokal antara 2019 hingga 2022. Dana tersebut dicatat sebagai “pengamanan operasional”. “Ini bisa menjadi pintu masuk untuk menyelidiki potensi suap dan konflik kepentingan,” kata peneliti hukum dari Integrity Law Firm. PT MSAM juga diketahui memiliki komisaris dan direktur yang berasal dari kalangan purnawirawan Polri.
Jhonlin Group, induk perusahaan MSAM, saat ini juga terlibat dalam proyek energi baru terbarukan melalui Jhonlin Agro Mandiri, penerima alokasi besar program biodiesel pemerintah. Namun, di balik klaim hijau itu, ekspansi sawit yang dilakukan anak usahanya justru mempercepat deforestasi di Pulau Laut.
“Sampai hari ini, kami hanya ingin tanah kami kembali,” kata Unang lirih. “Kalau negara sudah tidak bisa bantu, kami rakyat kecil harus bertahan sendiri”. (Gufron/Red)
Recommended Post
Leave a Comment