Ketika #KaburAjaDulu menjadi viral di media sosial Indonesia, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, justru menyatakan sambutan hangat negaranya terhadap pekerja terampil Indonesia. (Foto/Cadasorg)
KOMUNALIS.COM, OPINI - Ketika #KaburAjaDulu menjadi viral di media sosial Indonesia, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, justru menyatakan sambutan hangat negaranya terhadap pekerja terampil Indonesia. Sebuah ironi yang menggambarkan dua realitas berbeda: sistem rekrutmen Indonesia yang kaku versus pengakuan internasional terhadap kompetensi tenaga kerja Indonesia.
Bayangkan seorang dokter bedah yang ditolak bekerja di rumah sakit Indonesia karena tingginya tidak mencapai 165 cm, sementara di Jepang, kemampuannya dalam menangani pasien menjadi fokus utama. Atau programmer berbakat yang “terlalu tua” di usia 35 tahun untuk standar Indonesia, namun justru dipandang sebagai aset berharga oleh perusahaan teknologi Jepang karena pengalaman dan keahliannya.
Teori Person-Environment Fit dalam psikologi organisasi menegaskan bahwa kesuksesan kerja ditentukan oleh kecocokan antara kemampuan individu dengan tuntutan pekerjaan yang sebenarnya. Jepang tampaknya lebih memahami prinsip ini dibanding banyak institusi di Indonesia. Mereka mencari “potongan puzzle” yang tepat untuk mengisi kebutuhan industri mereka, bukan sekadar mencari “pembungkus” yang menarik.
Fenomena #KaburAjaDulu bukanlah sekadar tren media sosial atau pelarian semata. Ini adalah respons rasional terhadap sistem yang tidak rasional. Ketika Dubes Jepang menyatakan keterbukaan negaranya terhadap pekerja terampil Indonesia, dia secara tidak langsung menggarisbawahi apa yang selama ini diabaikan di dalam negeri: kompetensi dan profesionalisme sejati.
Di Indonesia, kita masih terjebak dalam "sindrom pengukuran yang salah". Institusi masih mengukur kemampuan berenang dari tinggi badan, atau menilai kepintaran dari penampilan fisik. Contohnya, persyaratan foto full body untuk posisi akuntan—seolah-olah laporan keuangan akan lebih akurat jika dibuat oleh orang yang fotogenic (cantik/ body goals).
Sementara itu, Jepang dengan pragmatismenya yang terkenal, fokus pada apa yang benar-benar penting: keterampilan, pengalaman, dan kemampuan aktual.
Kisah wanita Indonesia yang ditolak TNI karena tinggi badan namun sukses menjadi Letnan Kolonel di Amerika Serikat adalah bukti nyata bahwa sistem yang terlalu kaku di Indonesia telah menciptakan kerugian ganda: Indonesia kehilangan talenta, sementara negara lain mendapat keuntungan. Jepang, melalui pernyataan dutanya, jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka siap mengambil keuntungan dari kelemahan sistem Indonesia ini.
Viral-nya #KaburAjaDulu bersamaan dengan sambutan hangat Jepang terhadap pekerja Indonesia seharusnya menjadi alarm keras bagi pemangku kebijakan di tanah air. Ini bukan sekadar masalah brain drain, tapi juga refleksi dari sistem yang perlu direformasi secara mendasar. Ketika negara maju seperti Jepang berlomba-lomba menarik talenta terbaik dengan sistem yang terbuka dan meritokratis, Indonesia tidak bisa terus bertahan dengan sistem rekrutmen yang kaku dan ketinggalan zaman.
Perubahan harus dimulai dari akar: reformasi mindset dalam menilai kandidat. Fokus pada kompetensi inti, bukan pada kriteria artifisial. Setiap persyaratan kerja harus memiliki justifikasi yang masuk akal dan relevan dengan tuntutan pekerjaan. Metode penilaian harus lebih menekankan pada demonstrasi kemampuan aktual.
Sambutan positif Dubes Jepang terhadap pekerja Indonesia seharusnya menjadi cermin bagi kita. Jika negara lain bisa melihat dan menghargai talenta Indonesia, mengapa kita sendiri masih terjebak dalam kriteria-kriteria yang tidak relevan? Sudah waktunya Indonesia bergerak dari “apa yang terlihat” ke “apa yang bisa dilakukan”.
Momentum ini harus menjadi titik balik. Ketika negara seperti Jepang membuka pintu lebar-lebar untuk talenta Indonesia, seharusnya ini menjadi motivasi bagi Indonesia untuk memperbaiki sistemnya, bukan malah kehilangan lebih banyak talenta karena sistem yang kaku dan tidak responsif terhadap kebutuhan zaman.
Karena pada akhirnya, pilihan “kabur” yang diambil oleh talenta Indonesia bukanlah cerminan dari ketidakloyalan mereka terhadap negara, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang gagal menghargai kompetensi sejati. Dan selama sistem ini tidak berubah, Indonesia akan terus menyaksikan talenta terbaiknya disambut hangat oleh negara-negara yang lebih bisa menghargai kemampuan mereka.
Penulis:
Noer Syabilah Ramadyni
Recommended Post
Leave a Comment